otobiografi
Nama saya Abdul Wahid. Orang-orang di sekitar saya memanggil saya dengan inisial AW atau AW1, yakni singkatan dari nama saya. inisial AW itu menjadi populer dalam keluarga saya, karena secara kebetulan saya mendapatkan jodoh seorang istri yang juga berinisial AW, Atun Wardatun. Untuk mengukuhkan inisial AW itu, semua anak kami diberi nama dengan inisial AW. Aqara Waraqain, Ara Wali, dan Aribal Waqy. Saya juga dikenal sebagai Aba Du Wahid, terutama dalam karya-karya intelektual saya. Mulanya karena kesalahan teknis ketika buku pertama saya diterbitkan. Untuk menghindari kerugian dari komplain saya, penerbit membuat apologi bahwa sebutan Aba Du Wahid itu lebih melekat di ingatan pembaca dan marketable, sejak itulah nama itu dipasang.
Saya lahir pada 6 Mei 1971 di sebuah kampung kecil SambinaE, Kota Bima. Sejak dulu kampung itu dikenal sebagai kampung udik, karena letaknya di kaki Doro Londa, meski masuk dalam wilayah "kota". Kami anak-anak yang akrab dengan kehidupan pengunungan. Keseharian kami adalah mencari jangkrik, kayu pembuat ketapel, mengejar burung kacoronanga, di bukit-bukit di belakang rumah, sambil berharap ada buah garoso dan loka yang tersisa oleh pemiliknya untuk kami makan. Jika musim hujan tiba, kami berdoa agar terjadi banjir segera datang sehingga kami bisa bersenang-senang dengan rangki (rakit) dari pohon pisang yang kami tumpangi mulai dari Rontu sampai ke persimpangan sungai di Sadia-Bedi. Ketika musim tanam, kami juga ke sawah membantu orangtua membajak dan menanam padi. Yang paling menyenangkan pergi ke ladang, di saat orang-orang menanam padinya diiringi biola yang melantungkan lagu ai lopi. Di belakang rumah, kami memiliki kandang domba yang setiap hari harus saya urus.
Ayah saya, H. Mansur Ismail, adalah seorang guru agama dan "kiyai kampung". Setamat dari pondok pesantren Tebuireng Jombang, ia mendirikan sekolah agama di kampung, bermodalkan sancaka rumah kakek sebagai ruang kelas. Sekolah itulah yang kini menjelma menjadi MI SambinaE.