Catatan Perlawanan
Yogyakarta, Insist Press-Pustaka Pelajar, 2000
Buku ini karya perdana, terbit 2000. Merupakan kumpulan dari catatan kritis dan reflektif atas sistem kehidupan yang serba menindas. Juga merupakan refleksi atas pengalaman menjadi mahasiswa dalam suatu sistem pendidikan yang tidak memberdayakan. Buku ini sempat menjadi best-seller di Yogyakarta 2000-2001. Buku ini menginspirasi berbagai komunitas mahasiswa untuk mengembangkan kegiatan dn gerakan kemahasiswaan. Buku ini dibahas di Makassar, Jember, Surabaya, dan Yogyakarta sendiri. Di Jakarta, Komunitas Utan Kayu sempat membahasnya tanpa mengetahui siapa penulisnya. Bagian akhir dari buku - cerita mengenai pahlawan orang miskin Abu Dzar al-Ghifari - mengilhami pembuatan drama di komunitas teater Universitas Jember.
Buku ini awalnya adalah surat-surat dan diary yang dibuat untuk merakam gerak jiwa penulisnya, tidak untuk diterbitkan. Sebahagian besar diketik dengan mesin ketik Adler, setiap selesai sholat subuh di sebuah kamar kos di Yogyakarta. Kawan-kawan se-kost dan pemilik rumah suka memanggil "pak Camat sudah bangun" setiap mendengar bunyi tus mesin ketik. Ketika naskahnya dibundel dan dilihat oleh Dr. Mansur Fakih, pimpinan INSIST (Institute for Social Transformation) disarankan untuk dibukukan. Begitu naskahnya ditunjukkan kepada Cak Ud (Mas'ud), pemilik Pustaka Pelajar, beliau langsung teringat bukunya Roem Topatimassang, Sekolah Itu Candu. Saat itu juga beliau setuju untuk diterbitkan. Editing dan prosesnya diserahkan kepada Eko Prasetyo, pimpinan Insist Press.
Di salah satu bagian buku ini, termuat kegelisahan penulis akan fenomena brain drain, perginya kaum intelektual dari tanah pertiwi, tanah kelahiran. Dalam banyak hal, brain drain merugikan. Maka dibanyangkan terjadinya gelombang arus balik, di mana kaum terpelajar kembali ke kampung (Bima) dan mereka menyelenggaran upaya membangun masyarakat dengan cara mereka. Dengan kerja sama dan kerja keras, akhirnya mereka bisa membangun suatu Bima yang baru....
Yogyakarta, Insist Press-Pustaka Pelajar, 2000
Buku ini karya perdana, terbit 2000. Merupakan kumpulan dari catatan kritis dan reflektif atas sistem kehidupan yang serba menindas. Juga merupakan refleksi atas pengalaman menjadi mahasiswa dalam suatu sistem pendidikan yang tidak memberdayakan. Buku ini sempat menjadi best-seller di Yogyakarta 2000-2001. Buku ini menginspirasi berbagai komunitas mahasiswa untuk mengembangkan kegiatan dn gerakan kemahasiswaan. Buku ini dibahas di Makassar, Jember, Surabaya, dan Yogyakarta sendiri. Di Jakarta, Komunitas Utan Kayu sempat membahasnya tanpa mengetahui siapa penulisnya. Bagian akhir dari buku - cerita mengenai pahlawan orang miskin Abu Dzar al-Ghifari - mengilhami pembuatan drama di komunitas teater Universitas Jember.
Buku ini awalnya adalah surat-surat dan diary yang dibuat untuk merakam gerak jiwa penulisnya, tidak untuk diterbitkan. Sebahagian besar diketik dengan mesin ketik Adler, setiap selesai sholat subuh di sebuah kamar kos di Yogyakarta. Kawan-kawan se-kost dan pemilik rumah suka memanggil "pak Camat sudah bangun" setiap mendengar bunyi tus mesin ketik. Ketika naskahnya dibundel dan dilihat oleh Dr. Mansur Fakih, pimpinan INSIST (Institute for Social Transformation) disarankan untuk dibukukan. Begitu naskahnya ditunjukkan kepada Cak Ud (Mas'ud), pemilik Pustaka Pelajar, beliau langsung teringat bukunya Roem Topatimassang, Sekolah Itu Candu. Saat itu juga beliau setuju untuk diterbitkan. Editing dan prosesnya diserahkan kepada Eko Prasetyo, pimpinan Insist Press.
Di salah satu bagian buku ini, termuat kegelisahan penulis akan fenomena brain drain, perginya kaum intelektual dari tanah pertiwi, tanah kelahiran. Dalam banyak hal, brain drain merugikan. Maka dibanyangkan terjadinya gelombang arus balik, di mana kaum terpelajar kembali ke kampung (Bima) dan mereka menyelenggaran upaya membangun masyarakat dengan cara mereka. Dengan kerja sama dan kerja keras, akhirnya mereka bisa membangun suatu Bima yang baru....
Ahmad Wahib: Pergulatan Doktrin dan Realitas Sosial
Yogyakarta, Resist Book, 2004
Buku ini pengembangan dari tesis magister di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Membahas pemikiran Ahmad Wahib, pemikir muslim Indonesia kontemporer, dalam masalah keagamaan. Buku ini meretas benang merah bagi suatu pergaulan masyarakat beragama di Indonesia yang majemuk, menjadi sebuah interaksi yang mencerahkan dan produktif, menumbuhkan kedewasaan masing-masing pihak. Buku ini menyinggung sesat pikir keagaamaan berupa ekslusivisme, klaim kebenara mutlak, dan prasangka. Indonesia yang berpengalaman dan dewasa dalam kemajemukan, dirusak oleh berbagai eksperiemnatasi-eksperimentasi politik yang penuh interest.
Yogyakarta, Resist Book, 2004
Buku ini pengembangan dari tesis magister di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Membahas pemikiran Ahmad Wahib, pemikir muslim Indonesia kontemporer, dalam masalah keagamaan. Buku ini meretas benang merah bagi suatu pergaulan masyarakat beragama di Indonesia yang majemuk, menjadi sebuah interaksi yang mencerahkan dan produktif, menumbuhkan kedewasaan masing-masing pihak. Buku ini menyinggung sesat pikir keagaamaan berupa ekslusivisme, klaim kebenara mutlak, dan prasangka. Indonesia yang berpengalaman dan dewasa dalam kemajemukan, dirusak oleh berbagai eksperiemnatasi-eksperimentasi politik yang penuh interest.
Resensi
Media Indonesia 11 Desember 2004 Suara Hati Ahmad Wahib Oleh Nerma Ginting Indonesia adalah salah satu negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Sisanya, memeluk agama Hindu, Buddha, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan. Dengan lima agama itu, bukan tidak mungkin sering terjadi konflik yang membawa bendera agamanya masing-masing. Tak jarang pula, tersiar kabar, meledaknya bom di gereja atau masjid dilakukan untuk memecah belah umat Islam dan umat Kristen. Buku setebal 167 halaman ini adalah karya yang ditulis oleh Aba Du Wahid. Seperti judulnya, Ahmad Wahib, Pergulatan, Doktrin, dan Realitas Sosial, ini memang bercerita tentang pandangan Ahmad Wahib tentang pluralitas agama di Indonesia. Dengan membaca buku ini, Anda akan dipaksa untuk mengingat almarhum Ahmad Wahib. Ahmad Wahib, yang pada awal dekade 80-an menghebohkan dunia intelektual-keagamaan Indonesia dengan terbitnya sebuah buku yang ditulisnya. Buku itu sama sekali bukan buku ilmiah, melainkan sebuah catatan harian tentang pelbagai masalah yang dipikirkan Wahib yang merupakan refleksi atas kenyataan-kenyataan yang dihadapi, umat Islam, bangsa Indonesia, sekaligus diri Ahmad Wahid sebagai pribadi. Kini, nama Ahmad Wahib kembali muncul melalui buku yang berjudul namanya itu. Buku yang diterbitkan oleh Resist Book ini, akan bercerita tentang pluralisme agama, khususnya di Indonesia. Pluralisme agama-bersama pluralisme sosial, budaya, ideologi, suku, dan sebagainya-bagi Indonesia fenomena khas dan klasik. Tetapi, pluralisme agama sebagai wacana, adalah hal yang relatif baru. Munculnya wacana ini dipicu oleh dinamika hubungan antaragama di Indonesia yang dari masa ke masa selalu mengalami pasang surut. Adakalanya harmonis, terkadang antagonis. |
Fenomena ini merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia. Kalangan cendekiawan berusaha merespons dengan mencari formulasi pemikiran yang dapat menjadi landasan bagi kehidupan bersama yang harmonis. Di antara mereka yang banyak bersentuhan dengan diskursus ini adalah kalangan pembaharu angkatan 70-an, atau yang lebih dikenal dengan kaum neo-modernis.
Buku ini berusaha menampilkan pemikiran pluralisme agama dari salah seorang eksponen angkatan ini, yaitu Ahmad Wahib (1942-1973). Lewat catatan hariannya yang kontroversial itu, ia banyak mencetuskan gagasan menarik yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia. Dari kajian ini diharapkan akan diperoleh suatu paradigma untuk kehidupan beragama di tengah keragaman, dialog antar agama, dan toleransi antarpemeluk agama. Perkembangan pluralitas agama di Indonesia dapat diamati secara historis empiris. Secara kronologis, dapat disebutkan bahwa dalam wilayah kepulauan Nusantara hanya agama Hindu dan Buddha yang dahulu dipeluk oleh penduduk, khususnya di Pulau Jawa. Candi Borobudur dan Candi Prambanan adalah bukti sejarah yang paling autentik. Kenyataan demikian tidak meminggirkan tumbuh berkembangnya budaya animisme dan dinamisme, baik di Pulau Jawa maupun di luarnya. Ketika Islam mulai menyebar di kepualauan Nusantara melalui jalur perdagangan, sebuah proses perubahan kepemelukan agama secara bertahap mulai berlangsung. Namun, setelah itu, ketika para penjajah Eropa masuk sekitar abad 16, agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik mendapat giliran menyebar secara luas ke kawasan yang sama. Semula, skala penyebaran itu berpusat di luar Jawa, sampai kemudian pada abad ke-18 mulai memasuki wilayah-wilayah Pulau Jawa secara luas. Dalam perkembangannya, agama-agama besar dunia, yaitu Hindu, Buddha, Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, adalah agama yang paling subur berkembang di Indonesia. Belum lagi menyebut Kong Hu Cu (konfusionisme) yang dipeluk oleh etnis Tionghoa yang hidup di Tanah Air. Diharapkan dengan membaca buku ini, Anda memperoleh bekal yang cukup bagi gerakan sosial dalam melihat silang sengketa antara negara, modal, dan kuasa militer. |
Tendensi Teks:
Ambiguitas Visi Sosial Buku PAI SMU Depag RI
& Hasil Bahtsul Masa'il NU
Mataram, Alam Tara Institute, 2009
Ditulis bersama Atun Wardatun, buku ini merupakan pemaduan dua penelitian content analisys terhadap dua teks "keagamaan". Teks pertama adalah buku pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI yang diajarkan di sekolah SMU, tahun 1990-an, dan teks kedua dokumen hasil Bahtsul Masa'il NU. Buku ini awalnya merupakan dua naskah (teks) yang berdiri sendiri, masing-masing memiliki latar belakang. Naskah pertama, dengan judul “Buku PAI SMU Depag RI: Pluralisme yang Ambigu” adalah edisi revisi dari tesis Abdul Wahid di UNY Yogyakarta yang ditulis pada rentang tahun 2002. Adapun naskah kedua “Bahtsul Masa’il: Tafsir yang Bias” adalah hasil penelitian penulisnya di IAIN Mataram tahun 2007.
Pengumpulan dua naskah ini dalam satu buku bukanlah atas alasan klasik “dibuang sayang” dari suatu kompilasi, melainkan atas alasan akademik semata-mata. Setelah disimak secara seksama, ternyata dua naskah ini memiliki karakter yang mirip: keduanya sama-sama studi teks yang menggunakan content analisys, sama-sama mengangkat isu-isu aktual dan kontroversial seputar masalah pluralisme dan gender. Yang lebih penting dari itu, kedua teks yang dianalisis memiliki kecenderungan yang sama yaitu ambigu dalam menyampaikan visi-visi sosial. Teka pertama, buku PAI SMU, memiliki kecenderungan yang ambigu dalam menafsirkan fenomena dan konsepsi mengenai pluralisme atau hubungan agama. Sementara teks kedua, hasil Bahtsul Masa’il NU, juga memiliki kecenderungan bias – bahasa lain ambigu – dalam menafsirkan masalah-masalah yang menyangkut posisi dan peran perempuan.
Ambiguitas Visi Sosial Buku PAI SMU Depag RI
& Hasil Bahtsul Masa'il NU
Mataram, Alam Tara Institute, 2009
Ditulis bersama Atun Wardatun, buku ini merupakan pemaduan dua penelitian content analisys terhadap dua teks "keagamaan". Teks pertama adalah buku pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI yang diajarkan di sekolah SMU, tahun 1990-an, dan teks kedua dokumen hasil Bahtsul Masa'il NU. Buku ini awalnya merupakan dua naskah (teks) yang berdiri sendiri, masing-masing memiliki latar belakang. Naskah pertama, dengan judul “Buku PAI SMU Depag RI: Pluralisme yang Ambigu” adalah edisi revisi dari tesis Abdul Wahid di UNY Yogyakarta yang ditulis pada rentang tahun 2002. Adapun naskah kedua “Bahtsul Masa’il: Tafsir yang Bias” adalah hasil penelitian penulisnya di IAIN Mataram tahun 2007.
Pengumpulan dua naskah ini dalam satu buku bukanlah atas alasan klasik “dibuang sayang” dari suatu kompilasi, melainkan atas alasan akademik semata-mata. Setelah disimak secara seksama, ternyata dua naskah ini memiliki karakter yang mirip: keduanya sama-sama studi teks yang menggunakan content analisys, sama-sama mengangkat isu-isu aktual dan kontroversial seputar masalah pluralisme dan gender. Yang lebih penting dari itu, kedua teks yang dianalisis memiliki kecenderungan yang sama yaitu ambigu dalam menyampaikan visi-visi sosial. Teka pertama, buku PAI SMU, memiliki kecenderungan yang ambigu dalam menafsirkan fenomena dan konsepsi mengenai pluralisme atau hubungan agama. Sementara teks kedua, hasil Bahtsul Masa’il NU, juga memiliki kecenderungan bias – bahasa lain ambigu – dalam menafsirkan masalah-masalah yang menyangkut posisi dan peran perempuan.
Anak Pelayan Belajar Melayani
Mataram, Alam tara Institute, 2008
Buku ini mengangkat sisi-sisi kecil, sisi manusiawi dari sang tokoh, seorang walikota. Ternyata di balik kekuasaan bersemayam manusia sejati, manusia yang sesungguhnya tanapa kamauflase dan topeng. Sisi-sisi asli itu jarang tampil ke permukaan. Hanya karena kedekatan tertentu antara penulis dan sang tokohlah hal-hal kecil ini bisa terungkap. Itulah buku kecil ini, buah dari interaksi yang intens dan mendalam antara ponulis dengan H.M Nur Latif (alm), mantan walikota Bima.
Banyak hal yang terungkap dari buku ini mengenai sosok Bang Noli, begitu almarhum biasa dipanggil, terutama terkait dengat interaksinya dengan masyarakat. Dengan kepribadiannya yang bersahaja, elegan, fleksibel, dan jenaka, membuatnya mudah berkomunikasi dengan siapapun dari semua level dan kelas sosial. Cara berkomunikasi seperti inilah yang memungkinkan sang tokoh bisa menggalang partisipasi masyarakat dalam membangun kota Bima.
Buku ini bukan biografi yang bertujuan membesarkan nama besar sang tokoh. Dengan menganagkat hal-hal kecil, buku ini justru menampilkan gambaran bahwa siapapun sama, tanpa ada yang harus dimuliakan, apalagi dikultuskan sedemikian rupa. Tetapi buku ini berhasil mengusung pelajaran, bahwa justru dengan hal-hal manusiwi itulah seseorang bisa menemukan kebesarannya. Kebesaran bukan karena tampilan-tampilan artifial, melainkan jiwa... jiwa yang besar.
Mataram, Alam tara Institute, 2008
Buku ini mengangkat sisi-sisi kecil, sisi manusiawi dari sang tokoh, seorang walikota. Ternyata di balik kekuasaan bersemayam manusia sejati, manusia yang sesungguhnya tanapa kamauflase dan topeng. Sisi-sisi asli itu jarang tampil ke permukaan. Hanya karena kedekatan tertentu antara penulis dan sang tokohlah hal-hal kecil ini bisa terungkap. Itulah buku kecil ini, buah dari interaksi yang intens dan mendalam antara ponulis dengan H.M Nur Latif (alm), mantan walikota Bima.
Banyak hal yang terungkap dari buku ini mengenai sosok Bang Noli, begitu almarhum biasa dipanggil, terutama terkait dengat interaksinya dengan masyarakat. Dengan kepribadiannya yang bersahaja, elegan, fleksibel, dan jenaka, membuatnya mudah berkomunikasi dengan siapapun dari semua level dan kelas sosial. Cara berkomunikasi seperti inilah yang memungkinkan sang tokoh bisa menggalang partisipasi masyarakat dalam membangun kota Bima.
Buku ini bukan biografi yang bertujuan membesarkan nama besar sang tokoh. Dengan menganagkat hal-hal kecil, buku ini justru menampilkan gambaran bahwa siapapun sama, tanpa ada yang harus dimuliakan, apalagi dikultuskan sedemikian rupa. Tetapi buku ini berhasil mengusung pelajaran, bahwa justru dengan hal-hal manusiwi itulah seseorang bisa menemukan kebesarannya. Kebesaran bukan karena tampilan-tampilan artifial, melainkan jiwa... jiwa yang besar.
Jara Mbojo: Kuda-Kuda Kultural
Mataram, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTB, 2011
Pada mulanya adalah kegelisahan, keterlibatan, dan permenungan yang intens mengenai suatu entitas budaya yang ada dalam masyarakat Dana Mbojo, tanah tumpah darah penulis. Entitas itu bernama Jara Mbojo (bahasa Daerah Bima untuk kuda Bima).
Jara Mbojo memiliki arti penting bagi masyarakat Dana Mbojo, karena kegunaannya sangat besar dalam berbagai keperluan hidup. Jara Mbojo mempunyai nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang tinggi. Sejak zaman dahulu, Jara Mbojo sudah berperan dalam sejarah, digunakan sebagai alat transportasi, alat pencari nafkah, alat hiburan dan olahraga, serta alat pertahanan-keamanan. Pacoa Jara (pacuan kuda) adalah tradisi, suatu habitus yang dipraktekkan dari generasi ke generasi. Kebertahanannya sebagai tradisi tentu saja karena ia mengandung makna, nilai, fungsi sosial-budaya-politik tertentu yang dapat membantu penganutnya dalam mengarungi eksistensi hidupnya. Jika tidak, maka sebelum sempat diwariskan ia sudah mati. Jika habitus adalah format atau aspek bentuk dari pelaksanaan pacuan kuda, maka modal adalah makna, nilai, dan fungsinya. Pertautan kedua aspek itu secara simultan menjadikan pacuan kuda sebagai sebuah medan budaya, ranah, yang berkumpul di dalamnya berbagai macam hal dan penafsirannya sendiri. Di situ ada kepentingan, ada ideologi, ada pertarungan. Apakah di pacuan kuda itu akan berlangsung praktek pembebasan atau penistaan, perlawanan atau pengkerdilan, pemiskinan atau pemberdayaan, sungguh sangat tergantung kepada bagaimana agen-agen kultural dalam ranah itu bermain. Maka, pertanyaan apakah pacuan kuda mengandung potensi pemberdayaan masyarakat atau sebaliknya, menjadi begitu menarik. Pada masa kini, Jara Mbojo mengalami perkembangan sangat dinamis, seiring terus digalakkan Pacoa Jara oleh Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah Kota Bima. Populasi Jara Mbojo terus berkembang. Demikian juga pelaksanaan Pacoa Jara, terus mengalami kemajuan, dalam hal manajemen dan teknik pelaksanaan, serta efeknya bagi pengembangan sosial-ekonomi masyarakat Dana Mbojo.
Buku ini mencoba memahami realitas Jara Mbojo untuk memberikan kepahaman dan apresiasi yang sepatutnya. Pada gilirannya, diharapkan bisa memberi nilai tambah ekonomi, sosial-budaya masyarakat di Dana Mbojo. Buku ini juga mengajak pembaca meninjau potensi-potensi yang ada dalam ranah pacuan kuda sebagai modal praksis pemberdayaan. Ini adalah pengembangan dari hipotesis bahwa pasti ada “apa-apa” dalam pacuan kuda sehingga bisa bertahan sebagai tradisi yang dianut oleh masyarakat, paling tidak bagi komunitasnya sendiri.Pemikiran dan refleksi ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam pengembangan industri pariwisata dan pengembangan sosial-budaya berbasis Jara Mbojo, terutama bagi pemerintah di daerah serta pelaku industri pariwisata dan pengembang sosial-budaya.
Mataram, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTB, 2011
Pada mulanya adalah kegelisahan, keterlibatan, dan permenungan yang intens mengenai suatu entitas budaya yang ada dalam masyarakat Dana Mbojo, tanah tumpah darah penulis. Entitas itu bernama Jara Mbojo (bahasa Daerah Bima untuk kuda Bima).
Jara Mbojo memiliki arti penting bagi masyarakat Dana Mbojo, karena kegunaannya sangat besar dalam berbagai keperluan hidup. Jara Mbojo mempunyai nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang tinggi. Sejak zaman dahulu, Jara Mbojo sudah berperan dalam sejarah, digunakan sebagai alat transportasi, alat pencari nafkah, alat hiburan dan olahraga, serta alat pertahanan-keamanan. Pacoa Jara (pacuan kuda) adalah tradisi, suatu habitus yang dipraktekkan dari generasi ke generasi. Kebertahanannya sebagai tradisi tentu saja karena ia mengandung makna, nilai, fungsi sosial-budaya-politik tertentu yang dapat membantu penganutnya dalam mengarungi eksistensi hidupnya. Jika tidak, maka sebelum sempat diwariskan ia sudah mati. Jika habitus adalah format atau aspek bentuk dari pelaksanaan pacuan kuda, maka modal adalah makna, nilai, dan fungsinya. Pertautan kedua aspek itu secara simultan menjadikan pacuan kuda sebagai sebuah medan budaya, ranah, yang berkumpul di dalamnya berbagai macam hal dan penafsirannya sendiri. Di situ ada kepentingan, ada ideologi, ada pertarungan. Apakah di pacuan kuda itu akan berlangsung praktek pembebasan atau penistaan, perlawanan atau pengkerdilan, pemiskinan atau pemberdayaan, sungguh sangat tergantung kepada bagaimana agen-agen kultural dalam ranah itu bermain. Maka, pertanyaan apakah pacuan kuda mengandung potensi pemberdayaan masyarakat atau sebaliknya, menjadi begitu menarik. Pada masa kini, Jara Mbojo mengalami perkembangan sangat dinamis, seiring terus digalakkan Pacoa Jara oleh Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah Kota Bima. Populasi Jara Mbojo terus berkembang. Demikian juga pelaksanaan Pacoa Jara, terus mengalami kemajuan, dalam hal manajemen dan teknik pelaksanaan, serta efeknya bagi pengembangan sosial-ekonomi masyarakat Dana Mbojo.
Buku ini mencoba memahami realitas Jara Mbojo untuk memberikan kepahaman dan apresiasi yang sepatutnya. Pada gilirannya, diharapkan bisa memberi nilai tambah ekonomi, sosial-budaya masyarakat di Dana Mbojo. Buku ini juga mengajak pembaca meninjau potensi-potensi yang ada dalam ranah pacuan kuda sebagai modal praksis pemberdayaan. Ini adalah pengembangan dari hipotesis bahwa pasti ada “apa-apa” dalam pacuan kuda sehingga bisa bertahan sebagai tradisi yang dianut oleh masyarakat, paling tidak bagi komunitasnya sendiri.Pemikiran dan refleksi ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam pengembangan industri pariwisata dan pengembangan sosial-budaya berbasis Jara Mbojo, terutama bagi pemerintah di daerah serta pelaku industri pariwisata dan pengembang sosial-budaya.